22 Desember 2008

LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA

Lagu Indonesia Raya (diciptakan tahun 1924) pertama kali dimainkan pada Kongres Pemuda (Sumpah Pemuda) tanggal 28 Oktober 1928. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, lagu yang dikarang oleh Wage Rudolf Soepratman ini dijadikan lagu kebangsaan.


Sejarah

Ketika mempublikasikan Indonesia Raya tahun 1928, Wage Rudolf Soepratman dengan jelas menuliskan "lagu kebangsaan" di bawah judul Indonesia Raya. Teks lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali oleh suratkabar Sin Po.

Setelah dikumandangkan tahun 1928, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya. Belanda — yang gentar dengan konsep kebangsaan Indonesia, dan dengan bersenjatakan politik divide et impera — lebih suka menyebut bangsa Jawa, bangsa Sunda, atau bangsa Sumatera, melarang penggunaan kata "Merdeka, Merdeka!"

Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka ikuti lagu itu dengan mengucapkan "Mulia, Mulia!", bukan "Merdeka, Merdeka!" pada refrein. Akan tetapi, tetap saja mereka menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan.

Selanjutnya lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan pada setiap rapat partai-partai politik. Setelah Indonesia merdeka, lagu itu ditetapkan sebagai lagu Kebangsaan perlambang persatuan bangsa.

Namun pada saat menjelaskan hasil Festival Film Indonesia (FFI) 2006 yang kontroversial, Remy Sylado, seorang budayawan dan seniman senior Indonesia mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya merupakan jiplakan dari sebuah lagu yang diciptakan tahun 1600-an berjudul Leka Leka Pinda Pinda. Remy juga mengungkapkan selain Indonesia Raya, sebuah lagu lain berjudul Ibu Pertiwi juga merupakan karya jiplakan dari sebuah lagu rohani Kristen (lagu gereja).


Deskripsi Lagu

Dari susunan liriknya, merupakan soneta atau sajak 14 baris yang terdiri dari satu oktaf (atau dua kuatren) dan satu sekstet. Penggunaan bentuk ini dilihat sebagai "mendahului zaman" (avant garde), meskipun soneta sendiri sudah populer di Eropa semenjak era Renaisans. Rupanya penggunaan soneta tersebut mengilhami karena lima tahun setelah dia dikumandangkan, para seniman Angkatan Pujangga Baru mulai banyak menggunakan soneta sebagai bentuk ekspresi puitis.

Lirik Indonesia Raya merupakan seloka atau pantun berangkai, menyerupai cara empu Walmiki ketika menulis epik Ramayana. Dengan kekuatan liriknya itulah Indonesia Raya segera menjadi seloka sakti pemersatu bangsa, dan dengan semakin dilarang oleh Belanda, semakin kuatlah ia menjadi penyemangat dan perekat bangsa Indonesia.

Cornel Simanjuntak dalam majalah Arena telah menulis bahwa ada tekanan kata dan tekanan musik yang bertentangan dalam kata berseru dalam kalimat Marilah kita berseru. Seharusnya kata ini diucapkan berseru (tekanan pada suku ru). Tetapi karena tekanan melodinya, kata itu terpaksa dinyanyikan berseru (tekanan pada se). Selain itu, rentang nada pada Indonesia Raya secara umum terlalu besar untuk lagu yang ditujukan bagi banyak orang. Dibandingkan dengan lagu-lagu kebangsaan lain yang umumnya berdurasi setengah menit bahkan ada yang hanya 19 detik, Indonesia Raya memang jauh lebih panjang.

Secara musikal, lagu ini telah dimuliakan — justru — oleh orang Belanda (atau Belgia) bernama Jos Cleber yang tutup usia tahun 1999. Setelah menerima permintaan Kepala Studio RRI Jakarta Jusuf Ronodipuro pada tahun 1950, Jos Cleber pun menyusun aransemen baru, yang penyempurnaannya ia lakukan setelah juga menerima masukan dari Presiden Soekarno.
Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan yang agung, namun gagah berani (maestoso con bravura).


Lirik

Bait 1:
Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku.
Disanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan Tanah Airku.
Marilah kita berseru "Indonesia bersatu."
Hiduplah tanahku, Hiduplah negriku, Bangsaku, Rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya Untuk Indonesia Raya.

Refrein:
Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka Tanahku, negriku yang kucinta.
Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka Hiduplah Indonesia Raya.
Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka Tanahku, negriku yang kucinta.
Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya.

Bait 2:
Indonesia! Tanah yang mulia, Tanah kita yang kaya.
Di sanalah aku berada Untuk slama-lamanya.
Indonesia, Tanah pusaka, Pusaka Kita semuanya.
Marilah kita mendoa, "Indonesia bahagia!"
Suburlah Tanahnya, Suburlah jiwanya, Bangsanya, Rakyatnya semuanya.
Sadarlah hatinya, Sadarlah budinya Untuk Indonesia Raya.

disambung dengan refrein

Bait 3:
Indonesia! Tanah yang suci, Tanah kita yang sakti.
Disanalah aku berdiri menjaga ibu sejati.
Indonesia! Tanah berseri, Tanah yang aku sayangi.
Marilah kita berjanji: "Indonesia abadi!"
Slamatlah Rakyatnya, Slamatlah putranya, Pulaunya, lautnya semuanya.
Majulah Negrinya, Majulah Pandunya Untuk Indonesia Raya.

disambung dengan refrein


Peraturan Tentang Lagu Kebangsaan

Lagu kebangsaan Indonesia Raya dan penggunaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1958.


Pendapat Blogger (http://hurek.blogspot.com/2007/08/sedikit-tentang-indonesia-raya.html)

Gara-gara KMRT Roy Suryo, lagu kebangsaan Indonesia Raya kembali jadi polemik di media massa. Sayang sekali, polemik kali ini kurang bermutu karena bahan yang disodorkan Pak Roy mentah nian. Tidak ada yang baru.

Saya justru heran kenapa orang sekaliber Roy Suryo, pakar yang bolak-balik masuk koran, bicara di televisi, baru tahu bahwa Indonesia Raya itu sejatinya ada tiga stanza. Setahu saya, semua anak sekolah dasar di Indonesia pernah membaca kisah sejarah Indonesia Raya--selalu dikaitkan dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Di situ disebutkan bahwa Indonesia Raya memang ada tiga stanza. Pada masa penjajahan, kata 'merdeka' sengaja disensor karena penjajah tentu tidak sudi dengar. Bahwa cara membawakan, ekspresi... Indonesia Raya ada perubahan, ya, kita semua tahu. Bahwa Presiden Sukarno bikin tim penggubah Indonesia Raya, pun sudah banyak ditulis.

Lalu, apa yang baru dengan isu yang diangkat Roy Suryo? Tidak ada. "Yang baru itu, ya, Roy Suryo ternyata baru tahu kalau Indonesia Raya itu ada tiga stanza. Juga beberapa kali revisi...," kata teman saya. "Nggak ada mutunya polemik versi Roy Suryo," tambah sang kawan di Surabaya.

Yah, polemik tak penting, buang-buang waktu saja. Tapi dibahas di koran-koran, televisi, internet, hanya karena yang bicara itu seorang Roy Suryo. Tak apa-apalah. Dengan polemik ini, semua orang ramai-ramai cari bahan, referensi, wawancara sumber sejarah yang tepat, agar kisah seputar Indonesia Raya menjadi lebih akurat.

Apa pun kata orang, yang jelas, status Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan sudah final dan mengikat. Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyebutkan bahwa lagu kebangsaan kita Indonesia Raya.

Saat saya masih remaja bau kencur, tahun 1990-an, polemik seputar Indonesia Raya sudah muncul di surat kabar. Isu yang diangkat waktu itu, antara lain oleh Remy Silado, adalah 'kemiripan' alur melodi Indonesia Raya dengan lagu rakyat Eropa, kalau tak salah 'Leka-Leka'. Remy, wartawan kawakan, penulis ulung, musikolog, munsy, mengupas habis struktur lagu Indonesia Raya.

Polemik ini benar-benar menambah pengetahuan masyarakat seputar Indonesia Raya. Sebab, tulisan Remy Silado lantas diikuti tulisan penulis lain yang sama-sama pakar dan mengandalkan bahan dan referensi bermutu. Apa yang ditulis Remy dan beberapa musikolog, waktu itu, benar-benar informasi baru. Segar. Masyarakat pun senang mengikutinya.

Lha, kalau polemik menjelang 17 Agustus 2007 ini diangkat KRMT Roy Suryo yang bukan pakar musik. Referensi musiknya minim sehingga bisa dengan mudah disanggah para sesepuh macam Pak Des Alwi. "Tidak ada yang baru dalam temuan Roy. Sebab, dokumen aslinya masih saya simpan," kata Pak Des Alwi.

Pak Urip Sudarman, keponakan W.R. Supatman, Jalan Dharmahusada Indah V Blok F/204 Surabaya, terkejut dengan klaim Roy Suryo. Pak Urip ini sejak dulu jadi referensi para wartawan di Surabaya kalau bicara soal Indonesia Raya dan W.R. Supratman. Pada saat makam W.R. Supratman direnovasi, juga Museum W.R. Supratman di Jalan Mangga 21 Surabaya diresmikan, saya pun pernah membuat tulisan bersambung tentang Indonesia Raya dan W.R. Supratman.

Inti tulisan, sejak dulu sampai sekarang, ya, sama saja. Bagaimana tidak. Sumbernya sama, data-data sama, semua sama. Jadi, membaca tulisan panjang lebar di koran-koran Surabaya, merespons isu Roy Suryo, saya hanya ketawa-ketawa saja karena tidak ada yang baru. Teman-teman wartawan, ya, kembali menemui sumber-sumber saya yang dulu.

"Kalau kita mau jujur, sejak dulu memang tidak ada yang baru dalam pemberitaan. Apa yang kita tulis hari ini sebetulnya pernah ditulis wartawan-wartawan dulu. Bedanya, ya, tipis-tipis saja dan akan selalu berulang," kata Adi Sucipto, kawan wartawan KOMPAS di Surabaya.

Meski direvisi beberapa kali, inti lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman itu masih sama saja. Menggunakan tempo marcia alias kecepatan menyanyi sama dengan orang berbaris. Sebagai bekas pelatih paduan suara, saya tahu sedikit banyak tahulah istilah-istilah musik vokal dan bagaimana harus menerapkannya saat menyanyi.

Indonesia Raya itu bertempo cepat, mars. Metronom Malzel [M.M.] untuk lagu mars bertempo cepat ini berkisar 120 hingga 169. Maksudnya: dalam satu menit ada 144-169 ketukan. Karena itu, betul kata Roy Suryo, lagu dinyanyikan dengan heroik, cepat, penuh semangat.

Con bravura! Ini tanda ekspresi [bukan tempo] bahwa lagu itu dibawakan dengan semangat menggelora. Salah kalau Roy menyebut 'con bravura' sebagai jenis tempo. Temponya, ya, tetap mars atawa 'tempo di marcia'.

Nah, setelah direvisi oleh tim bentukan Bung Karno, tempo Indonesia Raya diturunkan menjadi sekitar M.M. 120. Aransemen garapan Jozef Cleber, komponis dan dirigen orkes simfoni terkenal di Jakarta pada awal kemerdekaan, menjadikan Indonesia Raya lebih gagah dan megah. Elegan! Lagu tetap semangat, tapi tidak tergesa-gesa macam aransemen versi era Jepang dulu.

Ada bagian yang dibuat maestoso [hormat, megah] pada :

hiduplah tanahku,
hiduplah negeriku,
bangsaku rakyat semuanya
bangunlah jiwanya
bangunlah badannya
untuk Indonesia Raya


Bagian ini dibawakan lebih lirih, volume diturunkan, dan mengalir alias legato. Nada-nada dirangkaikan, sehingga terasa bak alunan gelombang. Kalau anda pernah ikut kursus atau pelatihan dirigen/konduktor paduan suara, tentu apa yang saya gambarkan di sini sangat mudah dipahami.

Kontras kemudian terjadi di refrein atawa ulangan atawa chorus. Di sini dipakai fortessimo [ff]. Volume suara atau alat musik sangat keras. Efek menggelegar sangat terasa karena Jos Cleber menyertakan timpani di bagian ini.

Indonesia Raya! Merdeka! Merdeka!
Tanahku negeriku, yang kuncinta
Indonesia Raya! Merdeka! Merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya


Addie M.S. bersama orkestranya, Twilite Orchestra, saya nilai sangat berhasil menampilkan aransemen Indonesia Raya yang sangat hidup sesuai dengan keinginan Bung Karno. Lihat saja ketika tim nasional Indonesia tampil di Piala Asia, Jakarta, beberapa pekan lalu. Semua pemain dan penonton [juga penonton televisi di rumah] bisa merasakan kegagahan lagu Indonesia Raya hasil gubahan Jos Cleber.

Aransemen sama, lagu sama, tapi di tangan Addie M.S. dan Twilite Orchestra berasa lain. Beda sekali dengan rekaman lama yang dimainkan orkes lain.

Indonesia Raya memang lagu kebangsaan yang lahir dari perut sejarah perjuangan Indonesia. Karakternya memperlihatkan bahwa nyanyian kebangsaan itu benar-benar lagu perjuangan. Heroik. Berapi-api. Tekad baja untuk merdeka. Bukan himne sentimental memuji raja atau ratu tertentu.

Itulah yang membedakan Indonesia Raya dengan lagu kebangsaan di beberapa negara Eropa macam Inggris, Belanda, Jerman, Malaysia. Kebetulan saya sangat menguasai melodi lagu kebangsaan dari empat negara ini. Lagu kebangsaan Malaysia malah mengadopsi 'Terang Bulan Terangnya di Kali' yang sangat populer di Indonesia. Diganti syairnya, jadilah lagu kebangsaan Malaysia.

Lantas, apa kelemahan Indonesia Raya?

Pertama, rentang nada tergolong sangat lebar. Ditulis pakai nada dasar G [satu #], nada terendah A [la rendah], nada tertinggi e [mi tinggi]. Bandingkan saja dengan God Save the Queen [Inggris] yang ambitusnya sedikit, temponya moderato, sehingga gampang dinyanyikan suporter bola di Inggris kapan saja.

Saat memimpin paduan suara pelajar, mahasiswa, atau umum, saya selalu merasakan bahwa tidak semua penyanyi bisa membidik nada dengan tepat. Di bagian awal, sopran dan tenor sulit menjangkau nada rendah. Di bagian refrein, giliran bas dan alto yang pusing menghadapi nada tinggi. Asal tahu saja, rata-rata orang Indonesia bersuara sedang alias bariton [laki-laki] dan meso-sopran [perempuan].

Repotnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958, Indonesia Raya hanya boleh dinyanyikan secara unisono alias satu suara. Tidak boleh bikin aransemen vokal empat suara, tiga suara, dua suara, dan sebagainya. Ini aturan yang wajib kita ikuti.

Karena terlalu tinggi di refrein, dan terlalu rendah di insetting [nada awal], maka hampir semua orang Indonesia kesulitan mengambil nada untuk nyanyian a capella [tanpa musik]. Bisa saya pastikan, nada dasarnya pasti jauh di bawah G mayor. Nah, karena nadanya sangat rendah, ya, Indonesia Raya tidak bisa dinyanyikan.

Ada juga kasus di mana dirigen tertentu 'ambil suara' terlalu tinggi. Siapa yang bisa menyanyikan dengan baik? Hanya paduan suara dengan dirigen terlatih. Sekali lagi, Indonesia Raya punya tingkat kesulitan tinggi.

Kedua, Indonesia Raya tergolong sangat panjang dibandingkan lagu kebangsaan negara-negara lain. Padahal, kita hanya menyanyikan satu stanza. Apa jadinya jika semua [tiga] stanza itu dinyanyikan? Karena panjang sekali, Indonesia Raya kerap 'disunat' di event-event olahraga Asia Tenggara, Asia, atau Olimpiade.

Ketika Susi Susanti dan Alan Budikusumah meraih emas Olimpiade, Indonesia Raya tidak ditampilkan utuh. Begitu juga saat Taufik Hidayat memenangkan emas olimpiade. Panitia setempat rata-rata mengeluh karena lagu yang panjang hanya makan waktu saja.

Ketiga, karena struktur melodi, irama, tempo... karakternya, Indonesia Raya tidak bisa dinyanyikan dengan santai. Bandingkan dengan Inggris yang lagu kebangsaannya sangat santai, meski maestoso, dinyanyikan setiap saat di stadion bola atau di mana saja.

Atau, lagu kebangsaan Amerika Serikat yang bisa dibawakan dalam berbagai gaya. Perhatikan siaran langsung tinju yang melibatkan petinju USA. Hampir pasti lagu kebangsaan dibawakan ala soul, black music, pop, dan sebagainya. Sangat tidak resmi! Indonesia Raya tidak bisa begitu!

15 Desember 2008

ARTI KORPS PASKIBRAKA

Salam PASKIBRA!!!

Dalam kesempatan kali ini Saya ingin menyampaikan tentang arti dari lambang PASKIBRAKA. Lambang PASKIBRAKA dapat dilihat seperti berikut:


Adapun Makna dari Lambang PASKIBRAKA adalah:
  1. Bentuk perisai yang berarti bela negara
  2. Warna dasar hitam memiliki arti teguh dan percaya diri
  3. Sepasang pemuda pemudi paskibraka
  4. Bendera merah putih yang sedang berkibar memiliki arti sebagai bendera kebangsaan yang harus dijunjung tinggi.
  5. Tiga buah awan atau tiga buah garis horisontal memiliki arti bahwa paskibraka terdiri dari tiga tingkatan yaitu : Nasional, Propinsi, dan Kabupaten.
  6. Warna kuning melambangkan kebanggaan dan ketauladanan seorang paskibra.
PASKIBRAKA JAYA!!!

04 Desember 2008

Sejarah Pembentukan PASKIBRAKA

1. Bendera Pusaka

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 pagi di jalan Pegangsaan timur 56 Jakarta. Setelah pernyataan Kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya secara resmi bendera kebangsaan merah putih dikibarkan oleh dua orang muda mudi dan dipimpin oleh Bapak Latief Hendraningrat. Bendera ini dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno dan bendera ini pula yang kemudian disebut “Bendera Pusaka”.

Bendera Pusaka berkibar siang malam ditengah hujan tembakan sampai ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Pada tanggal 4 Januari 1946 karena ada aksi terror yang dilakukan Belanda semakin meningkat, maka Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Bendera Pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam kopor pribadi Presiden Soekarno. Selanjutnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Pada saat Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, dipanggil oleh Presiden Soekarno dan ditugaskan untuk Bapak Husein Mutahar menyelamatkan Bendera Pusaka. Penyelamatan Bendera Pusaka ini merupakan salah satu bagian dari sejarah untuk menegakkan berkibarnya Sang Merah Putih di persada bumi Indonesia. Untuk menyelamatkan Bendera Pusaka itu, terpaksa Bapak Hussein Mutahar harus memisahkan antara bagian merah dan putihnya. Untuk mengetahui saat-saat penyelamatan Bendera Pusaka, maka terjadi percakapan yang merupakan perjanjian pribadi antara Presiden Soekarno dan Bapak Hussein Mutahar yang terdapat dalam Buku Bung Karno “Penyambung Lidah rakyat Indonesia” karya Cindy Adams:

“Tindakanku yang terakhir adalah memanggil Mutahar ke kamarku (Presiden Soekarno, Pen).” Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu,” kataku ringkas. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga Bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Disatu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan Bendera ini, percayakan tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya. Mutahar terdiam. Ia memejamkan matanya dan berdoa. Disekeliling kami bom berjatuhan. Tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota. Tanggung jawabnya sungguh berat. Akhirnya ia memecahkan kesulitan ini dengan mencabut benang jahitan yang memisahkan kedua belahan dari bendera itu.

Akhirnya dengan bantuan Ibu Perna Dinata benang jahitan antara Bendera Pusaka yang telah dijahit tangan Ibu Fatmawati Soekarno berhasil dipisahkan. Setelah Bendera Pusaka dipisahkan menjadi dua maka masing-masing bagian yaitu merah dan putih dimasukkan pada dasar dua tas milik Bapak Hussein Mutahar, selanjutnya pada kedua tas tersebut dimasukkan seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya. Bendera Pusaka ini dipisah menjadi dua karena Bapak Hussein Mutahar mempunyai pemikiran bahwa apabila Bendera Pusaka ini dipisah maka tidak dapat disebut bendera, karena hanya berupa dua carik kain merah dan putih. Hal ini untuk menghindari penyitaan dari pihak Belanda.

Setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan diasingkan, Kemudian Bapak Hussein Mutahar dan beberapa staf Keprisidenan juga ditangkap dan diangkut dengan pesawat dakota. Ternyata mereka di bawa ke Semarang dan di tahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Bapak Hussein Mutahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta. Di Jakarta beliau menginap di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokroaminoto (Kapolri I). Beliau selalu mencari informasi bagaimana caranya agar ia dapat segera menyerahkan Bendera Pusaka kepada Presiden Soekarno. Sekitar pertengahan bulan Juli 1948, pada pagi hari Bapak Hussein Mutahar menerima pemberitahuan dari Bapak Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jl. Diponegoro) Jakarta, isi pemberitahuan itu adalah bahwa surat pribadi dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepada Bapak Hussein Mutahar. Pada sore harinya surat itu diambil beliau dan ternyata benar berasal dari Presiden Soekarno pribadi yang isinya adalah perintah Presiden Soekarno kepada Bapak Hussein Mutahar supaya menyerahkan Bendera Pusaka yang dibawanya kepada Bapak Sudjono, selanjutnya agar Bendera Pusaka tersebut dapat dibawa dan diserahkan kepada Presiden Soekarno di Bangka (Muntok).

Presiden Soekarno tidak memerintahkan Bapak Hussein Mutahar datang ke Bangka untukmenyerahkan sendiri Bendera Pusaka langsung kepada beliau (Presiden Soekarno), tetapi menjadi kerahasiaan perjalanan Bendera Bangka. Sebab orang-orang Republik Indonesia dari Jakarta yang tidak diperbolehkan mengunjungi ketempat pengasingan Presiden pada waktu itu hanyalah warga-warga Delegasi Republik Indonesia, antara lain : Bapak Sudjono, sedangkan bapak Hussein Mutahar bukan sebagai warga Delegasi Republik Indonesia.

Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Bapak Sudjono ke Bangka, maka dengan meminjam mesin jahit milik seorang istri dokter.Bendera Pusaka yang terpisah menjadi dua dijahit kembali oleh Bapak Hussein Mutahar persis lubang bekas jahitan aslinya. Tetapi sekitar 2 cm dari ujung bendera ada kesalahan jahit. Selanjutnya Bendera Pusaka ini dibungkus dengan kertas koran dan diserahkan kepada Presiden Soekarno dengan Bapak Hussein Mutahar seperti yang dijelaskan di atas. Setelah berhasil menyelamatkan Bendera Pusaka, beliau tidak lagi menangani masalah pengibaran Bendera Pusaka. Sebagai penghargaan atas jasa menyelamatkan Bendera Pusaka yang dilakukan oleh Bapak Hussein Mutahar, Pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera pada tahun 1961 yang disematkan oleh Presiden Soekarno.


2. Pengibaran Bendera Merah Putih di Gedung Agung Yogyakarta

Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke II, Presiden Soekarno memanggil salah seorang ajudan beliau, yaitu Bapak Mayor (L) Hussein Mutahar.
Selanjutnya memberi tugas untuk mempersiapkan dan memimpin ucapara peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1946 di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.

Pada saat itu Bapak Hussein Mutahar mempunyai pemikiran bahwa untuk menumbuhkan rasa persatuan bangsa, maka pengibaran Bendera Pusaka sebaiknya dilakukan oleh para pemuda se-Indonesia. Kemudian beliau menunjuk 5 orang pemuda terdiri dari 3 orang putri dan 2 orang putra perwakilan daerah yang berada di Yogyakarta untuk melaksanakan tugas tersebut. Lima orang tersebut merupakan simbol dari Pancasila.

Salah seorang dari pengibar bendera tersebut adalah Titik Dewi pelajar SMA yang berasal dari Sumatera Barat dan tinggal di Yogyakarta. Pengibaran Bendera Pusaka ini kemudian dilaksanakan lagi pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1947 dan tanggal 17 Agustus 1948 dengan petugas pengibar bendera 5 orang dari perwakilan daerah lain yang ada di Yogyakarta. Pada tanggal 6 juni 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa pemimpin Republik Indonesia lainnya, tiba kembali ke Yogyakarta dari Bangka, dengan membawa serta Bendera Pusaka. Pada tanggal 17 Agustus 1949, Bendera Pusaka kembali dikibarkan pada upacara peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia didepan Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.

Tanggal 27 Desember 1949 Presiden Soekarno dilakukan penandatangan naskah pengakuan kedaulatan di negeri Belanda dan menyerahkan kekuasaan di Jakarta.sedang di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat.
Tanggal 28 Desember 1949 Presiden Soekarno kembali ke Jakarta untuk memangku jabaan sebagai Presiden Republilk Indonesia Serikat. Setelah empat tahun di tinggalkan, Jakarta kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Pada hari itu Bendera Pusaka Sang Merah Putih juga di bawa ke Jakarta.

Untuk pertama kalinya hari proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1950 diselenggarakan di Istana Merdeka Jakarta. Bendera Pusaka Merah Putih berkibar dengan megahnya di Tiang Tujuh Belas dan disambut dengan penuh kegembiraan oleh seluruh bangsa indonesia. Regu-regu pengibar dari tahun 1956 – 1966 dibentuk dan diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan.


3. Bedirinya Direktorat Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka (DITJEN UDAKA) dan Diadakan Latihan Pandu Indonesia ber-Pancasila

Pada peringatan ulang tahun ke 49, tanggal 5 Agustus 1966, Bapak Hussein Mutahar menerima ”kado” dari pemerintah : beliau diangkat menjadi Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah berpindah-pindah tempat/kantor kerja dari stadion Utama Senayan ke ex-Gedung Dept. PTIP di Jalan Pegangsaan Barat, Ditjen UDAKA akhirnya menempati Gedung ex- NAKERTRANS Jalan Merdeka Timur 14. Suatu kegiatan ini sempat diujicobakan 2 kali pada tahun 1966 dan 1967, dan kemudian dimasukan pula dalam kurikulum ujicoba Pasukan Pengerek Bendera Pusaka tahun 1967 dan pelatihannya yang menggunakan sistem pendekataan KELUARGA BAHAGIA yang diterapkan secara nyata dalam gambaran Desa Bahagia. Didalam kehidupan Desa Bahagia para peserta latihan (warga desa) diajak berperan serta menghayati kehidupan sehari-hari berisi acara penghayatan dan pengamalan Pancasila. Dumulai dengan Penerimaan Warga Desa, Malam Renungan Jiwa, dan Upacara Pengukuhan, dilakukan secara unik, penuh semangat kekeluargaan, demokratis dan gembira.

Direktorat Pembinaan Generasi Muda ( Dit PGM atau Dit Binmud ) inilah yang terus melanjutkan tradisi pembentukan PASKIBRAKA setiap tahun menjelah Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di DKI Jakarta.


4. Pecobaan Pembentukan Pengerek Bendera Pusaka tahun 1967 dan Pasukan Pertama tahun 1968

Tahun 1967, Bapak Hussein Mutahar diapanggil oleh Presiden Soekarno untuk menangani lagi masalah Pengibaran Bendera Pusaka. Dengan ide dasar pelaksaan tahun 1946 di Yogyakarta, beliau kemudian mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3 ( tiga ) kelompok, yaitu :

1. Kelompok 17 / PENGIRING ( PEMANDU )
2. Kelompok 8 / PEMBAWA ( INTI )
3. Kelompok 45 / PENGAWAL

Ini merupakan simbol / gambaran dari tanggal Proklamsi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Pada waktu itu dengan kondisi yang ada, beliau melibatkan putra daerah yang di Jakarta dan menjadi anggota Pandu / Pramuka untuk melaksanakan tugas pengibaran Bendera Pusaka.
Semula rencana beliau untuk kelompok 45 ( pengawal ) akan terdiri dari para Mahasiswa AKABRI ( generasi muda ABRI ), tetapi waktu libur perkuliahan dan transportasi Magelang – Jakarta menjadi kendala, sehingga sulit dilaksanakan.

Usul lain untuk menggunakan anggota Pasukan Khusus ABRI ( sperti RPKAD, PGT, MARINIR dan BRIMOB ) juga mudah. Akhirnya diambil dari Pasukan Pengawal Presiden ( PASWALPRES ) yang mudah di hubungi dan sekaligus mereka bertugas di Istana Jakarta.

Pada tanggal 17 Agustus 1968, petugas Bendera Pusaka adalah para pemuda utusan propinsi. Tetapi propinsi – propinsi belum seluruhnya mengirimkan utusan, sehingga masih harus ditambah oleh ex-anggota pasukan tahun 1967.

Tahun 1969 karena Bendera Pusaka kondisinya sudah terlalu tua sehingga tidak mungkin lagi untuk dikibarkan, maka dibuatlah duplikat Bendera Pusaka. Untuk di kibarkan di tiang 17 meter Istana Merdeka, telah tersedia bendera merah putih dari bahan bendera (wool) yang dijahit 3 potong memanjang kain merah dan 3 potong memanjang kain putih kekuning-kuningan. Bendera Merah Putih duplikat Bendera Pusaka yang akan dibagikan ke daerah idealnya terbuat dari sutera alam dan alat tenun asli Indonesia, yang warna merah dan putih langsung ditenun menjadi satu tanpa di hubungkan dengan jahitan dan warna merahnya cat celup asli Indonesia.
Pembuatan duplikat Bendera Pusaka ini dilaksanakan oleh badan Penelitian Tekstil Bandung dengan dibantu oleh PT. Ratna di Ciawi Bogor. Dalam praktek pembuatan duplikat Bendera Pusaka, sukar untuk memenuhi syarat yang ditentukan Bapak Hussein Mutahar, karena cat asli Indonesia tidak memiliki warna merah bendera standar dan pembuatan dengan alat tenun bukan mesin akan lama.

Tanggal 5 Agustus 1969 di istana Negara Jakarta berlangsung upacara penyerahan duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan reproduksi naskah Proklamasi oleh Presiden Soeharto kepada Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia. Hal ini dapat dimaksudkan agar diseluruh Ibukota Propinsi/daerah Tingkat I dapat dikibarkan duplikat Bendera Pusaka dan diadakan pembacaan Naskah Proklamasi 17 Agustus di Istana Merdeka Jakarta. Selanjutnya duplikat Bendera Pusaka dan reprroduksi Naskah Proklamasi diserahkan kepada daerah tingkat II/kabupaten dan perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Bendera duplikat (yang dibuat dari 6 carik kain) mulai dikibarkan menggantikan Bendera Pusaka pada peringatan hari UlangTahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1969 di Istana
Merdeka Jakarta, sedangkan Bendera Pusaka bertugas mengantar dan menjemput bendera duplikat yang dikibarkan/diturunkan.

Pada tahun itu secara resmi anggota PASKIBRAKA adalah para remaja SMTA se-tanah air Indonesia. Setiap propinsi diwakili sepasang remaja. Dari tahun 1967 sampai tahun 1972 anggota yang terlibat masih dinamakan sebagai anggota “Pengerek Bendera”. Pada tahun 1973 Bapak Inik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk anggota Pengibar Bendera Pusaka dengan sebutan PASKIBRAKA, PAS dari kata PASUKAN, KIB berasal dari kata KIBAR mengandung pengertian PENGIBAR, RA berasal dari kata BENDERA dan KA berarti PUSAKA. Mulai saat itu singkatan anggota pasukan Pengibar Bendera Pusaka adalah PASKIBRAKA.


Sumber: http://paskibraka7.wordpress.com

BAMBU II 2009

Video ini diambil saat perlombaan Pengibaran Bendera dan LKBB tingkat SMA dan SMP pada rangkaian kegiatan perlombaan BAMBU II Januari 2009 yang digelar oleh Paskibra MAN 1 Medan (PASPRAMSAT). Saat-saat yang sangat membanggakan walaupun hanya meraih peringkat harapan 2. Thanks to all PASKIBRA members... Tetap Semangat yaa!!! ^_^